Minggu, 01 Juni 2014

Pemahaman dan Hukum Azan dan Iqamah

Pemahaman dan Hukum Azan dan Iqamah



1. Azan

Menurut bahasa berarti: Pemberitahuan tentang sesuatu.

Firman Allah Ta'ala,

 
"Dan (inilah) suatu pemberitahuan dari Allah Rasul-Nya." (QS. At-Taubah: 3)


 
"Aku telah menyampaikan kepada kamu sekalian (ajaran) yang sama (antara kita)." (QS. Al-Anbiya: 109)

Maksudnya aku beritahukan kalian maka kita sama-sama mengetahui. (Lihat An-Nihayah fi gharibil hadits, Ibnu Atsir, Bab Al-Hamzah ma'adz-Dzal, 1/34, Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2/53)


Sedangkan menurut syariat, azan berarti: Pemberitahuan tentang waktu shalat dengan redaksi khusus sebagaimana telah ditetapkan syariat. (Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah, 2/53, At-Ta'riifaat, Al-jurjani, hal. 37, Subulus-Salam, Ash-Shan'ani, 2/55)


Dinamakan demikian karena seorang yang azan (mu'azin) memberitahukan orang lain tentang masuknya waktu shalat.

Azan kadang juga disebut dengan istilah An-Nida (panggilan), karena mu'azin memanggil mengajak orang untuk shalat. (Syarhul-'Umdah, Ibnu Taimiah, 2/95)

 
Firman Allah Ta'ala:

 
"Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat, mereka menjadikannya buah ejekan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal." (QS. Al-Ma'idah: 58)


 
"Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah." (QS. Al-Jumu'ah: 9)


2. Iqamah

Dari segi bahasa merupakan bentukan dasar (mashdar) dari kata agama, yaitu menegakkan sesuatu. Sedangkan menurut syariat, iqamah adalah pemberitahuan akan ditunaikannya shalat wajib dengan redaksi khusus yang telah ditetapkan syariat. (Lihat Ar-Raudhul-Murbi', Hasyiyah Ibnu Qasim, 1/428, Asy-Syarhul-Mumti', Ibnu Utsaimin, 2/36)

Maka jika azan merupakan pemberitahuan masuknya waktu shalat, iqamah adalah pemberitahuan tentang pelaksanannya. Iqamah dinamakan juga Al-Azan At-Tsani (azan kedua) atau An-Nida At-Tsani (panggilan kedua). (Lihat, Syarhul-'Umdah, Ibnu Taimiah, 2/95)


3. Hukum azan iqamah

Hukumnya adalah Fardhu Kifayah bagi kaum laki-laki, tidak bagi wanita, pada shalat wajib yang lima dan pada shalat Jum'at.
 
Keduanya disyariatkan berdasarkan Al-Quran dan Sunnah.

Firman Allah Ta'ala:

 
"Dan apabila kamu menyeru (mereka) untuk (mengerjakan) shalat, mereka menjadikannya buah ejekan permainan. Yang demikian itu adalah karena mereka benar-benar kaum yang tidak mau mempergunakan akal." (QS. Al-Ma'idah: 58)


"Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah." (QS. Al-Jumu'ah: 9)


Dalil dari sunnah adalah sabda Rasulullah saw dalam hadits Malik bin Huwairits:


 
"Jika telah datang waktu shalat, maka hendaklah salah seorang di antara kalian mengumandangkan azan, orang yang paling tua di antara kalian menjadi imam (jika sama-sama memiliki ilmu keutamaan)." (Muttafaq alaih, Bukhari, no. 628, Muslim, no. 674)

Sabda Rasulullah saw 'salah seorang dari kalian menunjukkan bahwa azan hukumnya fardhu kifayah. (Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata: Diperselisihkan tahun diwajibkannya, namun yang kuat bahwa hal tersebut diwajibkan pada tahun pertama Hijriah, ada yang berpendapat, Pada tahun kedua (Fathul Bari, 2/78)
Ibnu Taimiah rahimahullah berkata, "Berdasarkan sunnah yang mutawatir (banyak riwayatnya) menunjukkan bahwa sejak zaman Rasululullag saw selalu dikumandangkan azan dalam setiap shalat wajib yang lima, maka umat ini sepakat (ijma) menjadikan hal tersebut sebagai amal hingga seterusnya". (Sarh Al-Umdah, Ibnu Taimiah, 2/96, lihat fatawa Ibnu Taimiah 22/64)

Yang benar bahwa azan diwajibkan bagi orang laki, baik ketika menetap, bepergian, seorang diri, shalat adaa' (pada waktunya), atau qadha bagi orang merdeka atau bidak sahaya (Syekh Abdul-Aziz bin Baaz, rahimahullah, menguatkan pendapat bahwa azan diwajibkan bahi orang laki, merdeka atau budak, sendiri atau sedang safar. Saya mendengarnya ketika beliau menjelaskan kitab Ar-raudgul-Murbi, 1/430, tanggal 30/11/1818H. Lihat Al-Mukhtaaraat Al-Jafiah, As-Sa'dy, hal 37, dan Fatawa Syekh Muhammad Ibrahim, 2/224, Asy-Syahrul-Mumti, Muhammada bin Shaleh Al-Utsaimin, 2/41)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Facebook Comments